APA ITU BITCOIN?

Menurut blog.bitcoin.co.id "Bitcoin adalah mata uang virtual yang dikembangkan pada tahun 2009 oleh seseorang dengan nama samaran Satoshi Nakamoto. Mata uang ini seperti halnya Rupiah atau Dollar, namun hanya tersedia di dunia digital." Saat ini Bitcoin sudah dapat digunakan untuk membeli barang/jasa pada beberapa toko online sebagaimana uang biasa. Lambang mata uang bitcoin ini adalah ฿.

Bitcoin Rate

Ini Langkah Dapat Bitcoin Dengan Cara Lain

Search inside

Desember 30, 2008

Pengemis dan Global Warming - Ayo tanam biji buah-buahan!

Suatu saat empati saya sangat dalam pada pengemis. Sampai-sampai saya sampai pada kesimpulan tidak mungkin bisa membantu tuntas pengemis dengan hanya memberi koin atau lembaran tiap hari. Harus ada cara membantu mereka yang sifatnya "memberi kail" bukan "memberi ikan".

Back to my childhood. Bapak dulu adalah seorang kondektur bus dan dari sinilah saya banyak tahu tentang cerita-cerita seputar kehidupan jalanan. Banyak cerita beliau yang berkesan salah satunya tentang pengemis/orang yang pekerjaannya meminta-minta. Ada diceritakan seorang pengemis yang kedua kakinya tiada. Suatu saat ada mobil menabraknya dan ternyata diketahui bahwa kedua kakinya patah. Ternyata selama ini dia menyembunyikan kakinya di lubang di bawah tempat duduknya. Ada juga suatu saat bapak cerita ada pengamen yang memelas dan tidak punya tempat tinggal. Sampai saya "kecil" punya usul agar keluarga kami mempersilahkan saja si pengamen itu tinggal bersama kami. Waktu itu bapak dan Ibu hanya tersenyum. Dan sekarang saya tahu arti senyuman itu. Hidup ternyata tidak gampang. Dan empat atau lima tahun lalu saya berkesimpulan bahwa ada sebagian pengemis yang bukan pengemis tetapi mengemis bagi mereka itu adalah pekerjaan atau mata pencaharian bukan keterpaksaan. Bahkan mereka punya organisasi dan dibagi dalam sift-sift untuk setiap area dan sebagainya. Anda bisa baca di media atau observasi langsung untuk selebihnya.

Tapi bagaimanapun dalam keempatian saya waktu itu, saya punya ide bagaimana jika pengemis itu menanam biji-bijian saja. Apa yang mendasari munculnya ide ini adalah koneksitas hal-hal berikut:
1. Saat saya membeli buah-buahan hampir selalu ada biji yang harus saya buang. Kalau saya amati biji buangan saya itu seringkali tumbuh.
2. Orang yang menjual tanaman/bunga di tepi jalan. Dan sekarang ini marak sekali. Seringkali kita membaca pameran tanaman hias atau flora dan fauna.
3. Seringkali saya membuang botol/gelas aqua dan kaleng serta yang sejenis begitu saja tanpa ada manfaatnya.
4. Seringkali juga ada pengemis yang memunguti botol/gelas aqua dan sejenisnya di tempat sampah di mana biji yang saya buang tadi bisa jadi ada di tempat sampah yang sama. Pemulung mungkin lebih tepatnya.
5. Penghijauan/Reboisasi. Dan saat ini global warming menjadi fokus dunia dan betapa saat ini pepohonan banyak ditebangi, Illegal Logging, banjir, dan lain-lain.
6. Jadi saya berpikir mungkin sangat GAMPANG, MURAH dan BERGUNA jika pengemis menanam biji buah-buahan dan mungkin bisa dia JUAL di pinggir jalan.

Bagaimana tidak efektif dan efisien jika semuanya tersedia:
1. Biji tinggal mungut di tempat sampah.
2. Media tanam yaitu tanah dan kompos bisa juga dia hasilkan dari tempat sampah yang sama.
3. Tempat menanam misalnya plastik, botol bekas, kaleng, bekas, aqua gelas bekas, dan yang sejenis tersedia juga di tempat sampah yang sama.
4. Pemasaran? tinggal ditaruh dipinggir jalan mungkin akan ada yang membeli atau disumbangkan ke negara, pemda, atau entitas sejenis untuk penghijauan.

Dan saya yakin waktu itu, hal ini dapat menjadi solusi alternatif sumber penghasilan dia selain mengemis.

Terkait hal ini, saya bertanya-tanya mengapa tanaman yang digunakan untuk penghijauan di taman kota adalah tanaman non buah. Mungkin alasannya agar akarnya tidak merusak, bahaya jika terjadi angin dan hujan, daya serap oksigen dan lain-lain. Padahal kata teman-teman yang pernah ke luar negeri, di taman kota itu ada juga buah apelnya meskipun dilarang keras untuk mengambil.

Mengapa tidak ditanam saja buah-buahan di pinggir jalan seperti asem jawa (untuk bumbu sayur asem atau permen asem), belimbing wuluh, kelapa, mangga, anggur (jika pengin keteduhan, toh sama-sama tanaman yang merambat), uni (rujak uni, ingat?), pace (untuk pace cap, obat yang berguna), rumput gajah (instead of alang-alang), serai, ubi jalar (daunnya juga indah dari pada rumput-rumput hias), dan lain-lain.... yang bisa dimanfaatkan dengan cara dimakan.

Ada usul buah-buahan lain?

OK, sekian dulu...

1 komentar:

denny eken mengatakan...

Koran Tempo Selasa, 27 Januari 2009
Tantangan Besar Abad XXI

Chris Patten, MANTAN KOMISARIS UNI EROPA URUSAN HUBUNGAN LUAR NEGERI, GUBERNUR TERAKHIR INGGRIS DI HONG KONG

Jadi apa sebenarnya yang ditawarkan tahun 2009 ini kepada kita? Seperti biasa, masa depan yang tidak bisa diprediksi ini—serangan teroris atau keputusan gegabah seorang kepala negara—bakal memakan banyak korban. Tapi apa yang akan terjadi besok sebenarnya tidak lain akibat yang dihasilkan sejarah. Di abad lalu, jumlah penduduk dunia meningkat empat kali lipat, dan jumlah orang yang tinggal di kota meningkat 13 kali lipat. Output dunia tumbuh dengan faktor 40, penggunaan air dengan faktor 9, konsumsi energi dengan faktor 13, dan emisi karbon dioksida dengan faktor 17. Abad ke-21 harus menanggung semua akibat tersebut di atas, yang baik maupun yang buruk.

Beberapa di antara faktor yang bakal membentuk kehidupan kita tampaknya tarik- menarik ke arah yang berbeda-beda. Profil usia masyarakat sudah berubah dramatis. Asia dan Eropa telah mengalami penurunan tingkat kesuburan. Angka-angka di Hong Kong, Singapura, dan Korea Selatan bahkan lebih mencolok daripada di negara-negara Eropa Katolik, seperti Spanyol, Italia, dan Polandia.

Pada saat yang sama, manusia hidup lebih lama, sehingga dalam satu generasi jumlah orang lanjut usia yang menggantungkan hidupnya pada orang lain di beberapa negara melampaui jumlah mereka yang lebih muda. Kita telah terbiasa dengan masyarakat dengan struktur demografis yang menyerupai piramid—bagian dasar yang lebar terdiri atas penduduk usia muda, mengerucut ke atas berupa lansia di puncaknya. Tapi sekarang strukturnya lebih banyak menyerupai profil gedung pencakar langit, sedikit-banyak sama dari atas ke bawah.

Yang tua harus menyesuaikan diri dengan teknologi yang lebih muda. Peluang kerja dan pendidikan semakin luas. Banyak siswa sekarang dipersiapkan untuk pekerjaan yang belum terbentuk. Lagi pula beberapa jenis ilmu pengetahuan bisa dengan cepat menjadi redundan. Sesungguhnya separuh dari apa yang dipelajari siswa pada tahun pertama kuliah teknik empat tahun bakal usang menjelang tahun ketiga. Perubahan itu sendiri makin cepat. Hasilnya semakin besar. Manfaat dan mudarat sama-sama menembus lebih dalam. Setiap bulan ada 31 biliun pencarian atau search pada Google. Dulu radio perlu waktu 38 tahun untuk menjangkau 50 juta khalayak. Sekarang Facebook cuma perlu waktu dua tahun.

Kita biasanya mengira lebih mudah bagi orang-orang muda menghadapi perubahan seperti ini. Bagaimana dengan seseorang seperti saya, yang kuliah di perguruan tinggi pada awal 1960-an, beradaptasi dan menghadapi perubahan itu. Bagaimana masyarakat terdahulu mengelola teknologi dan tetap dinamis. Tantangan terbesar bagi kita semua, muda dan tua, tahun depan dan seterusnya, bakal timbul dari perubahan yang tidak akan cuma merespons determinisme teknologi. Ia bakal timbul dari cara kita hidup selama dua abad ini. Jika para pemimpin yang tua sekarang ini tidak memberikan jawaban yang tepat, angkatan mudalah yang bakal menuai badai—bisa juga secara harfiah.

Tahun 2009, katanya, bakal menyaksikan tercapainya kesepakatan mengenai pemanasan global dan perubahan iklim yang akan menggantikan dan menyempurnakan Protokol Kyoto. Kopenhagen adalah tempat untuk pertemuan ini. Mereka yang optimistis mengelu- elukan berakhirnya pemerintahan Bush dan mengatakan tibanya pemerintahan Obama yang tak seperti pendahulunya, tidak menolak upaya penyelesaian pemanasan global, bakal membuka prospek kesepakatan. Mereka yang pesimistis mengatakan masalah ekonomi yang semakin parah di dunia telah digunakan banyak negara sebagai alasan untuk tidak mengambil tindakan mengurangi emisi karbon.

Tapi terus menggunakan energi dengan tidak efisien tak akan mengurangi dampak perih yang kita alami akibat krisis ekonomi global saat ini. Jika kita menggunakan masalah yang kita hadapi sekarang sebagai alasan untuk tidak berbuat sesuatu guna menyelamatkan lingkungan, kita cuma bakal menumpuk masalah yang jauh lebih besar—dan berpotensi membawa bencana—di masa datang.

Cina, negara yang ekonominya berkembang paling pesat di dunia saat ini, mengerti benar persoalannya. Apakah India juga demikian, bagi saya, itu agak meragukan. Cina menghadapi bahaya lingkungannya sendiri, misalnya, masalah air. Ia tidak mau melihat industrinya menjadi usang dan tidak bersaing. Cina akan berusaha mencapai kesepakatan global mengenai perubahan iklim. Persoalannya, apakah ia mampu mengenakan standar lingkungan yang lebih ketat di seluruh negeri.

Bagi Amerika, persoalannya juga terutama masalah politik di dalam negeri. Tidak bakal ada usulan Amerika yang berarti mengenai lingkungan sampai terdapat kesepakatan dalam Kongres. Tugas kita tahun ini adalah mencapai kesepahaman global di Kopenhagen yang bukan bersifat resep semata, tapi yang lebih memberikan semangat dan mencakup kesepakatan politik di dalam negeri Amerika Serikat segera setelah Obama dapat mengusahakan kesepakatan itu.

Tapi semua diplomasi yang sensitif bisa kandas jika, sebagai respons terhadap meningkatnya pengangguran, timbul ledakan proteksionisme yang melibatkan Amerika, Eropa, dan Cina, yaitu ketika agenda ekonomi dan agenda lingkungan bertabrakan dengan konsekuensi yang fatal. Karena itu, kita semua, yang muda dan yang tua, harus siap menghadapi tahun-tahun yang menggairahkan tapi berbahaya di masa depan. Kita semua pasti berharap Presiden Amerika generasi Internet yang pertama ini bisa membimbing negaranya serta bagian-bagian dunia lainnya memasuki masa depan yang lebih aman dan makmur berkesinambungan.
---
Sumber: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/27/Opini/index.html

Dicopy dari http://www.idr.or.id/node/6

Archive